AL-QUR’AN
DAN HADIS SEBAGAI
LANDASAN
KHAZANAH PEMIKIRAN ISLAM;
SEJARAH
AL-QUR’AN, KEHUJJAHAN, DAN DALALAHNYA
BAB
I
PENDAHULUAN
Para Imam Mazhab
bersepakat bahwa al-Qur’an dan Hadis sebagai rujukan hukum syara’ yang pling
utama. Bahkan Imam syafi’I dan Imam Hambali menetapkan bahwa al-Qur’an dan
Hadis itu sebagai satu Nash yang mutlak dan menyatu, jika dikatakan semua hukum
kembali pada nash, maka sudah tentulah itu al-Qur’an dan Hadis, tidak ada yang
lain.
Begitu
pula tidak ada perselisihan diantara para ulama dalam menetapkan bahwa
al-Qur’an diturunkan di malam bulan Ramadhan. Ketetapan ini ditegaskan juga
dalam al-Qur’an sendiri. Semua ulama sepakat menetapkan yang demikian, hanya
mereka berlainan pendapat tentang tanggalnya.
Terdapat
beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang menetapkan waktu permulaan turun wahyu,
yaitu surat al-Baqarah ayat 185 yang menegaskan al-Qur’an diturunkan pada bulan
Ramadhan. Dan penetapan malam 17 Ramadhan sebagai malam permulaan turun
al-Qur’an adalah berdasar kepada pen-tarjih-an riwayat-riwayat yang
berkenaan dengan itu dan berdasar qarinah yang dipahamkan dari QS.
Al-Anfal ayat 14.
Al-Qur’an
mengandung 114 surat, namun dalam hal ayat terdapat perbedaan pendapat. Beberapa
mengatakan ayat al-Qur’an berjumlah 6.666 ayat termasuk pada setiap kata ‘bismillahirrahmanirrahim’
di awal surat, ada pula yang mengatakan berjumlah 6.236 ayat dengan tidak
termasuk kata ‘bismillah’ tersebut.
Jumlah
kosakata menurut hitungan sebagian para ahli berjumlah 74.437 kosa kata, sedang
huruf terdiri dari 325.345 huruf di dalam al-Qur’an.[1]
Berbeda
dengan al-Qur’an yang ditetapkan waktu turunnya, tidak demikian dengan Hadis.
Beberapa ulama berbeda pendapat mengenai penetapan kapan yang dikatakan Hadis
pada setiap perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW. Ada yang
mengatakan bahwa Hadis itu baik sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul sudah
dikatakan Hadis, hal ini dikarenakan karena perilaku dan budi pekerti Nabi
sangat mulia bahkan ketika beliau masih berusia belia. Ada pula yang mengatakan
bahwa segala Perkataan, Perbuatan dan Taqrir Nabi dianggap Hadis setelah beliau
diangkat menjadi Rasul.
Seluruh
ucapan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi sasaran
perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.
Karena kesungguhan untuk meneladani beliau, para sahabat yang rumahnya jauh
dari masjid, silih berganti mendatangi majelis-majelis Nabi.
Hadis-hadis
yang diperoleh dari Nabi Muhammad ada yang di hafal ada pula yang ditulis oleh
para sahabat, hadis-hadis ini berjumlah ribuan, namun ada juga yang tidak shahih,
bahkan ada yang maudhu’. Karena itu tidak semua hadis dapat dijadikan
hujjah.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Sejarah
al-Qur’an dan Hadis
2.1.1. Sejarah al-Qur’an
Menurut sebagian
besar ulama, kata al-Qur’an berdasarkan segi bahasa merupakan bentuk mashdar
dari kata qara’a, yang berarti bacaan atau apa yang tertulis padanya.[2]
Seperti yang terdapat dalam surat al-Qiyamah ayat 17-18
¨bÎ)
$uZøn=tã
¼çmyè÷Hsd
¼çmtR#uäöè%ur
ÇÊÐÈ #sÎ*sù
çm»tRù&ts%
ôìÎ7¨?$$sù
¼çmtR#uäöè%
ÇÊÑÈ
Artinya:
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya
Maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah 17-18)
Adapun definisi al-Qur’an secara terminology,
menurut sebagian ulama Ushul Fiqih adalah sebagai berikut:
“Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam bahasa
arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya
merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan
ditutup dengan surat an-Nas.” [3]
Selain itu, al-Qur’an sering disebut juga sebagai
wahyu Ilahi yang diturunkan oleh Allah SWT melalui perantaraan malaikat jibril
kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai petunjuk
sejak dulu, sekarang, hingga masa nanti (sampai akhir zaman).
Wahyu secara bahasa adalah isyarat, tulisan,
risalah, pesan, perkataan yang terselubung, pemberitahuan secara rahasia,
bergegas, setiap perkataan atau tulisan atau pesan atau isyarat yang
disampaikan kepada orang lain.[4]
Wahyu dalam al-Qur’an memiliki empat (4) arti,
yaitu:
1. Isyarat secara rahasia. Ini adalah
pemaknaan wahyu secara kebahasaan.
yltsmú 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% z`ÏB É>#tósÏJø9$# #Óyr÷rr'sù öNÍkös9Î) br& (#qßsÎm7y Zotõ3ç/ $|ϱtãur ÇÊÊÈ
Artinya: “Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia
memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan
petang.” (QS. Maryam: 11)
2. Petunjuk naluriyah. Petunjuk yang
bersifat naluriyah merupakan misteri yang terselubung dan sumbernya tersembunyi
dari semua pandangan.
£`ßg9Òs)sù yìö7y ;N#uq»yJy Îû Èû÷ütBöqt 4ym÷rr&ur Îû Èe@ä. >ä!$yJy $ydtøBr& 4
$¨Zyur uä!$yJ¡¡9$# $u÷R9$# yxÎ6»|ÁyJÎ/ $ZàøÿÏmur 4
y7Ï9ºs ãÏø)s? ÍÍyèø9$# ÉOÎ=yèø9$# ÇÊËÈ
Artinya: “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa.
Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan Kami hiasi langit yang
dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.”
(QS. Al-Fushilat: 12)
3. Ilham (bisikan ghaib).
ôs)s9ur $¨YuZtB y7øn=tã ¸o§tB #t÷zé& ÇÌÐÈ øÎ) !$uZøym÷rr& #n<Î) y7ÏiBé& $tB #Óyrqã ÇÌÑÈ
Artinya: “dan Sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu
pada kali yang lain, Yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang
diilhamkan” (QS. Thahaa: 37-38)
4. Wahyu risali. Wahyu ini hanya khusus
untuk Rasul, disebutkan 70x di dalam al-Qur’an.[5]
y7Ï9ºxx.ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $ºR#uäöè% $|Î/ttã uÉYçGÏj9 ¨Pé& 3tà)ø9$# ô`tBur $olm;öqym uÉZè?ur tPöqt ÆìôJpgø:$# w |=÷u ÏmÏù 4
×,Ìsù Îû Ïp¨Ypgø:$# ×,Ìsùur Îû ÎÏè¡¡9$# ÇÐÈ
Artinya: “Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Quran dalam
bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Mekah) dan
penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang
hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. segolongan masuk
surga, dan segolongan masuk Jahannam.” (QS. Asy-Syuura: 7)
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW ketika beliau berada di dalam Gua Hira pada malam senin, bertepatan dengan
tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW (6
agustus 610M). Sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran al-Qur’an, Allah
menjadikan malam permulaan turun al-Qur’an itu sebagai malam lailatul qadr yaitu
suatu malam yang tinggi kadarnya. Hal ini diakui dalam al-Qur’an sendiri.[6]
Setelah wahyu pertama (QS. Al-‘alaq) dan kedua
(QS. Al-Mudatsir) turun, kemudian wahyu terhenti dan tidak turun lagi. Dalam
hal ini beberapa ulama berbeda pendapat dalam waktu terhentinya wahyu, barulah
setelah Rasul berusia 43 tahun, wahyu turun untuk yang ketiga kalinya, dan
sesudah itu baru al-Qur’an terus turun beriringan dengan kejadian-kejadian yang
memerlukannya dan tidak pernah lagi putus.[7]
Al-Qur’an turun berangsur-angsur, tidak
sekaligus. Kebanyakan dari ayat atau surat turun karena ada sebab turunnya (asbabun
nuzul) untuk menjelaskan suatu kejadian atau hukum terhadap suatu perkara.
Berdasarkan turunnya al-Qur’an, maka ia dibagi atas dua yaitu surat-surat
Makkiyah dan surat-surat Madaniyah.
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa hari terakhir
turunnya al-Qur’an ialah hari jum’at 9 dzulhijjah tahun 10H. atau tahun 63 dari
kelahiran Nabi (Maret 632M). Pada saat itu Nabi sedang berwukuf di padang
Arafah, mengerakan Haji yang terkenal dengan haji Wada’.[8]
Kebanyakan ulama tafsir menetapkan bahwa
sesudah hari itu al-Qur’an tidak lagi diturunkan untuk menerangkan hukum dan
Nabi pun hidup sesudahnya hanya selama 81 malam. Ahli tarikh menetapkan
bahwa Rasul SAW hidup sesudahnya selama kurang lebih tiga bulan. Sebagaimana
diketahui bahwa Rasulullah wafat pada hari senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun
11H (7 juni 632M).[9]
Haji wada’ terkenal sebagai haji terakhir yang
dilakukan Rasulullah SAW sebelum beliau wafat. Serta beliau sempat berkumpul
lagi dengan seluruh umat muslim di Arafah untuk menyampaikan wahyu terkahir
yaitu QS. Al-Maidah ayat 3.
Setelah Rasul wafat, pemerintahan islam
dipimpin oleh para sahabat beliau yang selalu disebut dengan khulafaurrasyidin,
yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Pada masa pemerintahan khulafaurrasyidin inilah al-Qur’an dibukukan dari
sebelumnya yang hanya terdapat di batu, kulit binatang dan pelepah kurma serta
hafalan-hafalan para sahabat.
Dikarenakan al-Qur’an dibaca dengan 7 bacaan
dan 7 huruf yang berbeda namun sama arti, maka pada masa pemerintahan Usman bin
Affan seluruh al-Qur’an dikumpulkan dan dibakar hingga tersisa satu macam
al-Qur’an yaitu al-Qur’an Usmani yang kita gunakan sampai sekarang.
2.1.2. Sejarah Hadis
Hadis menurut bahasa
adalah:
1. Jadid, lawan kata qadim: yang baru, hidats,
hudatsa’, dan huduts.
2. Qarib: yang dekat, yang belum lama terjadi
seperti dalam perkataan haditsul ahdi bil Islam (orang yang memeluk
agama Islam). Jamaknya hidats, hudatsa’ dan huduts.
3. Khabar: warta atau berita, yakni ma
yatahaddatsu bihi wa yunqalu
(sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
seseorang), sama maknanya dengan hidditsa. Dari makna inilah diambil
perrkataan hadits Rasulullah.
Sedangkan
hadis secara istilah menurut beberapa ulama ahli hadis adalah segala ucapan,
perbuatan dan keadaan Nabi SAW termasuk ke dalam “keadaan beliau” segala yang
diriwayatkan dalam kitab sejarah, seperti kelahirannya, tempatnya dan yang
bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun
sesudahnya.[10]
Hadis
secara istilah menurut beberapa ulama ahli Ushul Fiqh adalah segala perbuatan,
perkataan, dan taqrir Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum.[11]
Sedangkan yang diluar dari suatu ketetapan hukum seperti kegiatan Rasul
sehari-hari maka bukan disebut sebagai hadis.
Selain
al-Qur’an yang berasal dari firman Allah SWT, terdapat pula hadis yang
bersumber dari Rasul sebagai petunjuk umat manusia. Hadis biasanya juga
menerangkan suatu hukum yang sudah ada di dalam al-Qur’an seperti tata cara
shalat, dan lain-lain. Hadis juga berisi nasehat seperti niat, amal anak cucu
Adam, dan lain sebagainya.
Rasulullah
dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat menggunakan beberapa cara, yaitu:
1. Menyampaikan
hadis di dalam majelis taklim. Ketika dakwah masih sembunyi-sembunyi di rumah
Arqam bin Abdi Manaf yang dijadikan sebgai markas.
2. Menyampaikan
hadis dengan pendekatan dan pendidikan, yakni dengan tutur kata yang halus,
jelas dan tegas. Bahkan Rasul mengulangnya lebih dari satu kali agar hadis
tertanam kuat dalam ingatan para sahabat.
3. Menyampaikan
hadis tidak terlalu panjang, karena beliau khawatir para sahabat akan menjadi
bosan.
4. Rasulullah
SAW memberikan contoh atau suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.
5. Rasulullah
SAW menyampaikan sabdanya dengan melihat situasi dan kondisi, sehingga orang
pedalaman dengan karakter yang keras (arab badui) sekalipun akan mampu memahami
sabda Rasul.
6. Rasulullah
SAW juga mengajarkan kaum wanita, baik itu isteri-isteri beliau ataupun kaum
Muslimah lainnya di majelis mereka.
7. Melalui
pidato di tempat terbuka, seperti ketika khutbah haji wada’ dan fathul
makkah.[12]
Nabi
Muhmmad SAW hidup terbuka dengan para sahabatnya. Maksudnya, Rasul selalu
bergaul dengan para sahabat, baik di rumah, masjid, pasar,dan lain-lain.
Sehingga seluruh perkataan dan perbuatan Nabi selalu diperhatikan oleh sahabat
dan dijadikan panutan untuk hidup mereka sehari-hari pula. Hadis yang secara
langsung disampaikan oleh Rasul di dalam suatu majelis langsung di hafal oleh
sahabat, sedangkan hadis yang tidak langsung seperti pebuatan dan perkataan
Nabi tadi di kehidupan sehari-hari dijadikan panutan dan terapan dalam
kehidupan sehari-hari para sahabat.
Para
sahabat selama masa khulafaurrasyidin sangat berhati-hati dalam menyampaikan
hadis dan sangat teliti mengenai huruf-huruf dan maknanya. Syaikh Manna’
al-Qaththan mengutip pernyataan al-Hafiz adz-Dzahabi, “Abu Bakar adalah orang
yang paling berhati-hati dalam menerima hadis. Diriwayatkan oleh Ibnu Syihab
dari Qubaishah bin Dzu’aib bahwasanya ada seorang nenek datang kepada Abu Bakar
agar mendapatkan bagian warisan. Maka dia berkata, “Aku tidak mendapatkan
bagianmu sedikitpun dalam al-Qur’an, dan aku tidak pernah mengetahui Rasulullah
menyebutkan hal itu,” kemudian menyebutkan kepada para sahabat. Mughirah
berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah memberikan bagian seperenam.’ Abu Bakar
bertanya, ‘Apakah ada orang lain bersamamu?’. Lalu Muhammad bin Maslamah
bersaksi seperti itu. Kemudian Abu Bakar menjalankan dan memberikan bagian
kepada nenek tersebut.”[13]
Sebagaimana
pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa para sahabat sangat
berhati-hati dalam menerima suatu hadis, hal ini menegaskan adanya ketelitian
dan kewaspadaan sahabat dalam menerima riwayat karena khawatir terjadi
kesalahan dalam periwayatan.
Sahabat
yang menerima hadis dari Rasul ada yang menulisnya ada pula yang menghafalnya.
Disini terdapat perbedaan yang sangat signifikan mengenai pelarangan menulis
hadis, karena hadis tersebut merupakan hadis shahih.Terdapat pula hadis yang
membolehkan pencatatan hadis, dan hadis ini merupakan hadis shahih pula.
Perbedaan
pendapat para ulama mengenai pelarangan dan pembolehan penulisan hadis adalah
sebagai berikut:
Pertama,
sebagian ulama berpendapat bahwa hadis mengenai pelarangan penulisan/pencatatan
hadis itu mauquf atas diri Abu Sa’id al-Khudhri sehingga tidak dapat
dijadikan hujjah.
Kedua,
larangan penulisan hadis itu hanya terjadi pada masa awal-awal Islam karena
kekahawatiran hadis akan bercampur dengan al-Qur’an. Ketika jumlah kaum
muslimin semakin banyak dan mereka telah memahami al-Qur’an dengan baik dan
mampu membedakan al-Qur’an dengan hadis, maka terhapuslah larangan penulisan
hadis.
Ketiga,
larangan penulisan hadis ditujukan kepada orang yang hafalannya bisa
diandalkan, sedangkan kebolehan menulis hadis ditujukan kepada orang yang tidak
kuat hafalannya.
Keempat,
larangan penulisan hadis itu bersifat umum, sedangkan pembolehannya bersifat
khusus, yaitu terbatas bagi orang yang pandai membaca dan menulis, tidak
melakukan kesalahan dalam menulis dan tidak dikhawatirkan berbuat kekeliruan.[14]
2.2.
Kehujjahan
al-Qur’an dan Hadis
2.2.1. Kehujjahan al-Qur’an
Prof.
Rachmat Syafe’I dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih menuliskan beberapa kehujjahan
al-Qur’an menurut pandangan Ulama Imam Mazhab, yaitu:
a. Pandangan
Imam Abu Hanifah, beliau sependapat dengan jumhur ulama bahwa al-Qur’an
merupakan sumber hukum Islam. Namun, al-Qur’an hanya maknanya saja, beliau
membolehkan shalat dengan membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain
Arab, misalnya bahasa Parsi.
b. Pandangan
Imam Malik, hakikat al-Qur’an adalah kalam Allah yang lafaz dan maknanya dari
Allah SWT. Ia bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah. Imam Malik
juga sangat keberatan untuk menafsirkan secara murni tanpa memakai atsar,
sehingga beliau berkata, “seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh
seseorang yang menafsirkan al-Qur’an (dengan daya nalar murni), maka akan ku
penggal leher orang itu”.
c. Pandangan
Imam Asy-Syafi’I, sebagaimana para ulama lainnya menetapkan bahwa al-Qur’an
merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok, bhakan beliau berpendapat,
“Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya
terdapat dalam al-Qur’aan”. Oleh karena itu imam Syafi’I senantiasa
mencantumkan nash-nash al-Qur’an setiap kali mengeluarkan pendapatnya.
Imam
Syafi’I meanggap al-Qur’an tidak bisa dilepskan dari hadis, karena kaitan antara
keduanya sangat erat sekali. Beliau berpendapat bahwa sumber hukum islam yang
pertama sekali itu al-Qur’an dan Hadis.
Imam Syafi’I menentang mereka yang beranggapan bahwa dalam al-Qur’an terdapat
bahasa ‘Ajam (luar Arab), hal ini dikarenakan beberapa firman Allah SWT,
seperti:
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wÎ/ttã öNä3¯=yè©9 cqè=É)÷ès? ÇËÈ
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. (QS. Yusuf: 2)
Ò=»tGÏ. ôMn=Å_Áèù ¼çmçG»t#uä $ºR#uäöè% $|Î/ttã 5Qöqs)Ïj9 tbqßJn=ôèt ÇÌÈ
Artinya: “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, Yakni bacaan dalam
bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui”. (QS. Al-Fushilat: 3)
y7Ï9ºxx.ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $ºR#uäöè% $|Î/ttã uÉYçGÏj9 ¨Pé& 3tà)ø9$# ô`tBur $olm;öqym uÉZè?ur tPöqt ÆìôJpgø:$# w |=÷u ÏmÏù 4
×,Ìsù Îû Ïp¨Ypgø:$# ×,Ìsùur Îû ÎÏè¡¡9$# ÇÐÈ
Artinya: “Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Quran dalam
bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Mekah)
dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula)
tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. segolongan
masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam”. (QS. Asy-Syuura: 7)
Dengan demikian, tak heran bila Imam
Syafi’I dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan bahasa Arab,
misalkan dalam shalat, nikah, dan ibadah-ibadah lainnya. Dan beliau pun
mengharuskan pengusaan bahasa Arab bagi mereka yang ingin memahami dan meng-istinbath
hukum dari al-Qur’an.
d. Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal,
sebagaimana para ulama lainnya berpendapat bahwa al-Qur’an itu sebagai sumber
pokok Islam, kemudian disusul oleh Hadis. Imam Ahmad memandang bahwa Hadis
mempunyai kedudukan yang kuat di samping al-Qur’an, sehingga tidak arang beliau
menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah nash, tanpa menyebutkan al-Qur’an
dahulu atau Hadis dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah al-Qur’an
dan Hadis.[15]
Dari beberapa pendapat para Imam Mazhab
di atas maka jelaslah bahwa al-Qur’an menjadi sumber hukum Islam yang paling
utama, dan disusul oleh Hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua. Dalam
menafsirkan al-Qur’an itu sendiri pun tidak boleh hanya dengan nalar murni
saja, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa jika tidak ditemukan
di dalam Hadis untuk menjelaskan al-Qur’an maka lihat qaul shahabi dan
penafsiran dari para tabi’in.
2.2.2. Kehujjahan Hadis
Para Ulama sepakat
bahwa kehujjahan hadis shahih itu merupakan sumber hukum. Namun mereka berbeda
pendapat dalam menghukumi hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh
Rasulullah SAW oleh seorang atau dua orang yang tidak mencapai derajat
mutawatir.
a. Kehujjahan
Hadis Ahad menurut Imam Hanafi dapat diterima apabila memenuhi syarat; perawi
hadis sudah mencapai usia balig dan berakal, perawi harus muslim, perawi
haruslah orang yang adil, perawi harus betul-betul dhabit, perbuatan perawi
tidak menyalahi riwayatnya itu, riwayat itu (kandungan hadis) bukan hal yang
umum terjadi dan layak diketahui oleh setiap orang, riwayat hadis itu tidak
menyalahi qiyas selama perawinya tidak faqih.
b. Kehujjahan
Hadis Ahad menurut Imam Malik menerima hadis Ahad selama tidak bertentangan
dengan amalan ulama Madinah. Karena menurutnya amalan ulama Madinah merupakan
riwayat dari Rasulullah SAW. Riwayat jamaah dari jamaah lebih utama daripda
riwayat satu orang dari satu orang (hadis ahad).
c. Kehujjahan
Hadis Ahad menurut Imam Syafi’I dapat menerimanya dengan syarat; perawinya tsiqat
dan terkenal shidiq, perawinya
cerdik dan memahami isi hadis yang
diriwayatkannya, periwayatnya dengan riwayat bi al-lafzi, bukan riwayat bi
al-makna, dan periwayatnya tidak menyalahi hadis ahl al-ilmi.[16]
2.3.
Dilalah
al-Qur’an dan Hadis
2.3.1. Dilalah al-Qur’an
Kaum muslimin sepakat
bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua
ayat al-Qur’an dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut
(penetapannya) adalah qath’i. hal ini karena semua ayatnya sampai kepada
kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagaian sahabat yang
mencatumkan beberapa kata pada mushaf-nya, yang tidak ada pada qira’ah
mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap ap-Qur’an
yang di dengar dari Nabi SAW atau hasil ijtihad mereka untuk dirinya sendiri.
Namun perlu
ditegaskan bahwa hal tersebut tidak didapati dalam mushaf usmani yang kita
pakai sekarang ini. Dengan demikian, penambahan kata pada sebagian ayat
al-Qur’an tidak dapat dikatakan sebagai al-Qur’an; dan orang yang
mengingkarinya pun tidak dihukumi sebagai orang kufur. Demikian pula, kata-kata
yang merupakan penambah itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk istinbath
hukum, kecuali menurut golongan Hanafiyah.[17]
Dari segi dilalahnya,
ayat-ayat al-Qur’an dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu:
a. Nash
yang qath’I dilalah-nya, adalah nash yang tegas dan jelas maknanya,
tidak bisa di takwil, tidak mempunyai makna yang lain, dan tidak
tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri. Contohnya ayat yang
menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba, pengharaman daging babi,
hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat-ayat ini
jelas dan tegas maknanya, dan dalam memahaminya tidak perlu ijtihad.
b. Nash
yang zhanni dilalah-nya, adalah yang menunjukkan suatu makna yang dapat
di takwil atau nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafaznya musytarak
(homonim) ataupun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai
cara, seperti dilalah isyarat-nya, iqtidha-nya, dan sebagainya.[18]
2.3.2. Dilalah Hadis
Ditinjau dari segi
petunjuknya (dilalah), hadis sama dengan al-Qur’an, yaitu bisa qath’I dan
zhanni. Dalam kaitannya antara nisbat Hadis dan al-Qur’an, para ulama telah
sepakat bahwa Hadis berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan
juga sebagai penguat dari isi yang terdapat dalam hampir setiap ayat al-Qur’an.
BAB
III
PENUTUP
Imam
Syafi’I , Ahmad Ibnu Hambal, dan ulama lainnya berpendapat bahwa pemahaman
al-Qur’an itu mesti disesuaikan dengan keterangan yang ada dalam Sunah, karena
Sunah berfungsi sebagai penjelas dan penafsir al-Qur’an, dan juga sebagai takhsis
terhadap ayat-ayat yang mujmal, sehingga artinya menjadi jelas. Para
ulama pun bila tidak menemukan penafsiran dari al-Qur’an itu sendiri akan
mencari penafsirannya dari Sunah.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa pendapat para ulama mengenai takhshish
sunah terhadap al-Qur’an terbagi dua:
a. As-Sunah
sebagai hakim terhadap al-Qur’an, yakni as-Sunah sebagai tafsir dan
penjelas maksud-maksud ayat yang ada dalam al-Qur’an. As-Sunah diangggap
sebagai kunci untuk memahami al-Qur’an yang tidak mungkin dilepaskan dalam
memahami al-Qur’an;
b. Al-Qur’an
sebagai hakim bagi Sunah, yakni sunah tidak dianggap shahih jika
bertentangan dengan al-Qur’an, termasuk di dalamnya khabar Ahad.[19]
Penjelasan
Sunah terhadap al-Qur’an dapat dikategorikan menjadi tiga bagian:
1. Penjelasan
terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat dalam al-Qur’an tidak
diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan shalat
lainnya.
2. Penguat
secara mutlak, Sunah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang ada dalam
al-Qur’an.
3. Sunah
sebagai takhsis terhadap dalil-dalil al-Qur’an yang masih umum.[20]
Sunnah tidak
diragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam al-Qur’an,
misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunahkan aqiqah, dan lain-lain. Dalam
hal ini, para ulama berbeda pendapat:
1. Sunah
ini memuat hal-hal baru yang belum ada dalam al-Qur’an
2. Sunah
tidak memuat hal-hal yang baru yang tidak dalam al-Qur’an, tetapi hanya memuat
hal-hal yang ada landasannya dalam al-Qur’an.[21]
Karena
itu Sunnah juga berperan penting dalam sumber hukum Islam, dan oleh karenanya
Imam Syafi’I dan Imam Hambali sangat mengikat kuat antara al-Qur’an dan Hadis
sehingga disertakan dalam satu kata yaitu nash.
DAFTAR
PUSTAKA
M. Ajaj al-Khathib, Hadis Nabi Sebelum
Dibukukan (terj. AH. Akrom Fahmi), Jakarta; Gema Insani Press, 1999
Muhammad Gufron dan Rahmawati. Ulumul
Hadis: Praktis dan Mudah, Yogyakarta; Teras, 2013
M. Hadi Ma’rifat, Sejarah al-Qur’an, Jakarta;
al-Huda, 2007
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-qur’an dan Tafsir, Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2009
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2009
Rachmat Syafe’ie, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung;
Pustaka Setia, 2007
Syaikh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi
Ilmu Hadis (terj. Mifdhol Abdurrahman), Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 2005
[1] M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
(Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 48
[2]
Rachmat Syafe’ie, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung; Pustaka Setia, 2007), hlm.
49
[3] Ibid,
hlm. 50
[4] M.
Hadi Ma’rifat, Sejarah al-Qur’an, (Jakarta; al-Huda, 2007)
[5] Ibid,
hlm. 9-14
[6] M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-qur’an dan Tafsir,
(Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 19
[7] Ibid,
hlm. 25
[8] Ibid,
hlm 32
[9] ibid
[10]
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang;
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 5
[11] Rachmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqh, ibid, hlm. 60
[12]
Muhammad Gufron dan Rahmawati. Ulumul Hadis: Praktis dan Mudah,
(Yogyakarta; Teras, 2013), hal 22-23
[13]
Syaikh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis (terj. Mifdhol
Abdurrahman), (Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 2005), hlm. 68
[14]
M. Ajaj al-Khathib, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan (terj. AH. Akrom
Fahmi), (Jakarta; Gema Insani Press, 1999), hlm. 344
[15] Rachmat Syafe’ie, Ilmu
Ushul Fiqih, ibid, hlm. 51-54
[16] Ibid, hlm. 62-64
[17] Ibid, hlm. 55
[18] Ibid, hlm. 56
[19] Rachmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqih, (Bandung; Pustaka Setia, 2007), hlm. 58
[20] Ibid, hlm. 66-67
[21] Ibid, hlm.67
0 komentar:
Posting Komentar