Container Icon

AL-TAFSIR BI AL-MA'TSUR (TAFSIR AL-THABARY DAN TAFSIR IBNU KATSIR)

AL-TAFSIR BI AL-MA’TSUR
(TAFSIR AL-THABARI DAN TAFSIR IBNU KATSIR)


BAB I
PENDAHULUAN


Al-Quran memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nas dan sebagai Kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS. Ibrahim: 1). Salah satu ayatnya menjelaskan bahwa manusia tadinya merupakan satu-kesatuan (ummatan wahidah). Tetapi sebagai akibat lajunya pertumbuhan penduduk serta pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan perselisihan dan silang pendapat. Sejak itu Allah SWT mengutus Nabi-Nabi dan menurunkan Kitab Suci, agar mereka – melalui Kitab Suci tersebut – dapat menyelesaikan perselisihan mereka serta menemukan jalan keluar bagi penyelesaian masalah-masalah mereka (QS. Al-Baqarah: 213).
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci ini, menepati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu, dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.
Al-Quran merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan dimanapun, memiliki berbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut antara lain susunan bahasanya yang unik dan mempesonakan.
Nabi Muhammad SAW, mendapat tugas untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah SWT, (QS. An-Nahl: 44). Tugas ini memberikan petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal ini didukung oleh bukti-bukti antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan dalam al-Qur’an menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai Tuhan “kurang tepat”, misalnya QS. At-Taubah: 42, Ali-Imran: 128, ‘Abasa: 1, dan sebagainya, yang kesemuanya mengandung arti bahwa beliau ma’shum (terpelihara dari melakukan suatu kesalahan atau dosa).[1]
Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami atau menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang bertentangan dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsirn Nabi tersebut ada yang merupakan contoh-contoh konkret yang beliau angkat dari masyarakat beliau, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat berikutnya.
Harus digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat al-Quran tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, hal ini dikarenakan riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak, tetapi juga ada yang tidak dapat dipertanggungjawabkan otensitasnya. Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat al-Quran berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.


BAB II
PEMBAHASAN


A.                Pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur
Secara harfiah, tafsir berarti menjelaskan (al-idhah), menerangkan (al-tibyan), menampakkan (al-izhar), menyibak (al-kasyf), dan merinci (al-tafshil).[2] Sedangkan kata al-ma’tsur adalah isim maf’ul (objek) dari kata atsara-ya’tsiru/ ya’tsuru- atsaran- wa atsaratan yang secara etimologis berarti menyebutkan atau mengutip (naqala) dan memuliakan atau menghormati (akrama). Al-atsar juga berarti sunnah, hadis, jejak, bekas, pengaruh dan kesan.[3]
Ash-Shabuni dan az-Zarqani mendefinisikan tafsir bi al-ma’tsur sebagai sesuatu yang datang di dalam al-Quran, sunnah, ataupun perkataan sahabat, yang menjadi penerang bagi murad Allah terhadap kitab-Nya.[4]
Syaikh Manna’ al-Qaththan mengartikan tafsir bil-ma’tsur sebagai tafsir yang berdasarkan pada al-Quran atau riwayat yang shahih sesuai urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat mufassir. Yaitu menafsirkan al-Quran dengan al-Quran (ayat dengan ayat), al-Quran dengan sunnah, perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi’in. pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.[5]
Menurut M. Hasbi ash-Shiddieqy, ma’tsur (manqul) ialah ayat al-Quran, hadis Rasul dan pendapat-pendapat para sahabat yang menjadi penjelasan bagi maksud-maksud al-Quran. Maka tafsir bil ma’tsur ialah tafsir dengan ayat sendiri, atau dengan hadis, atau dengan pendapat para sahabat.[6]
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, tafsir bi al-ma’tsur adalah persoalan-persoalan yang dielaskan oleh Rasulullah SAW ataupun melalui ijtihad (setelah Rasul wafat) para sahabat (Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, dan sebagainya), serta tabi’in (Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr di Makkah yang berguru kepada Ibnu Abbas; Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam di Madinah yang berguru kepada Ubay bin Ka’ab; al-Hasan al-Bashriy, Amir al-Sya’bi di Irak yang berguru kepada Abdullah bin Mas’ud) yang mana tafsiran-tafsiran tersebut dikelompokkan menjadi satu kelompok yaitu tafsir bi al-Ma’tsur.[7]
Dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah menjelaskan atau menerangkan al-Quran dengan al-Quran atau ayat yang satu dengan ayat yang lain, al-Quran dengan Hadis, al-Quran dengan ijtihad/pendapat para sahabat dan tabi’in yang mana sudah memenuhi syarat-syarat sebagai mufassir sehingga tidak terdapat kekeliruan dalam memahami maknanya.
Namun terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai sumber penafsiran al-Quran, hal ini dikarenakan tidak diperoleh alasan yang memadai mengenai penafsiran tabi’in yang dijadikan sebagai salah satu sumber tafsir bi al-ma’tsur. Menurut sebagian pendapat, tafsir bi al-ma’tsur adalah corak tafsir al-Quran yang dalam operasional penafsirannya mengutip dari ayat-ayat al-Quran sendiri dan apa-apa yang dikutip dari hadis Nabi, pendapat sahabat dan tabi’in. sedangkan bagi sebagian mufassir lainnya tidak memasukkan pendapat tabi’in kepada tafsir bi al-ma’tsur, tetapi sebagai tafsir bi al-ra’yu.[8]
Hal ini disebabakan pendapat tabi’in sudah banyak terkooptasi akal atau karena mufassirnya dalam menafsirkan al-Quran lebih memprioritaskan kaidah-kaidah bahasa tanpa mementingkan aspek riwayat. Dengan kata lain, terkadang mereka pun melakukan interpretasi terhadap al-Quran.[9]
Berbeda dengan sahabat yang memiliki integritas dan kemungkinan besar untuk mengetahui penafsiran suatu ayat yang didasarkan kepada petunjuk Nabi. Para tabi’in dinilai tidak mendengar langsung dari Nabi dan tidak menyaksikan langsung situasi dan kondisi ketika al-Quran diturunkan. Oleh karenanya, otoritas tabi’in sebagai sumber penafsiran bi al-ma’tsur masih menjadi perdebatan ulama. Diantara ulama yang menolak pendapat tabi’in dalam penafsiran al-Quran adalah Ibnu Syaibah dan Ibnu Aqil. Namun, mayoritas ulama seperti ad-Dahhak bin al-Muzahim, Abu al-Aliyyah ar-Rayyah, Hasan Absri dan Ikrimah menerima otoritas tabi’in karena pada umumnya mereka mendengar langsung dari sahabat.[10]
Spesifiknya, ada pihak yang menolak hasil penafsiran tabi’in karena secara kronologis, para tabi’in tidak mendengar langsung dari Rasulullah atas apa yang mereka tafsirkan. Alasan adalah para tabi’in tidak menyaksikan saat turunnya al-Quran. Sedangkan pihak lain yang menerima hasil penafsiran para tabi’in memiliki alasan yang bahwa kebanyakan tafsiran tabi’in itu berkaitan dengan hasil tafsiran yang dilakukan para sahabat. Akan tetapi apabila penafsirannya itu cenderung menggunakan pendekatan ra’yu, tidak wajib mengambilnya.[11] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tafsiran para tabi’in dapat dijadikan sandaran hukum selama sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah periwayatan.

B.                 Bentuk-Bentuk Tafsir bi al-Ma’tsur
1.      Bentuk Riwayah
Allah memberikan jaminan kepada Nabi SAW untuk bertanggung jawab dalam hal melindungi al-Quran dan menjelaskannya. Nabi pun memahami al-Quran dengan sempurna baik secara global dan secara terperinci. Untuk kemudian dijelaskan kepada para sahabat. Mereka dapat memahami al-Quran yang kemudian diriwayatkan kepada orang lain dan meriwayatkannya kepada tabi’in. Rasulullah menjelaskan kepada para sahabat seluruh makna yang terdapat dalam al-Quran, sebagaimana beliau menerangkan lafadhnya. Oleh karena itu, periode ini disebut juga dengan periode syafahiyah yaitu bentuk pengajaran secara langsung.[12]
Para sahabat dalam menafsirkan al-Quran pada masa ini berpegang kepada al-Quran, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat lain. Ketika para sahabat kesulitan dalam memahami suatu ayat, maka mereka akan menghadap Rasulullah SAW dan merujuk kepadanya. Rasulullah menjelaskan kepada para sahabat apa yang sekiranya dikehendaki olehnya dan juga dianggap perlu untuk disampaikan. Pemahaman sahabat terhadap al-Quran sangat bergantung pada apa yang didapatkan dari Rasulullah. Itulah sebabnya, dalam keadaan apapun Rasulullah selalu di damping oleh para sahabat meskipun tidak semua sahabat dapat mendampingi Rasulullah setiap harinya.[13]
Sahabat juga menggunakan metode ijtihad dan pemahamannya apabila tidak mendapatkan tafsir dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Proses yang dilalui untuk mengetahui makna ayat yaitu dengan mengetahui letak bahasa dan rahasianya, mengetahui kebiasaan bangsa Arab, mengetahui keadaan orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab ketika turunnya al-Quran dan membuka wawasan yang luas dalam rangka melakukan analisis.[14]
Ketika penaklukan Islam semakin luas, para sahabat terdorong berpindah ke daerah-daerah taklukan. Mereka membawa ilmu masing-masing, dari tangan mereka inilah, tabi’in (murid mereka) belajar dan menimba ilmu, sehingga timbullah berbagai mazhabdan perguruan tafsir. Di Madinah misalnya, Ubay bin Ka’ab, di Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas dan di Irak berdiri perguruan Ibnu Mas’ud. Pada masa tabi’in ini, tafsir tetap konsisten dengan metode penerimaan dan periwayatan.
2.      Bentuk Tadwin
Ilmu tafsir tumbuh sejak zaman Rasulullah, Rasulullah beserta sahabat mentradisikan, menguraikan, dan menafsirkan al-Quran sesaat setelah turunnya. Tradisi ini terus berlangsung sampai Rasulullah wafat. Tafsir bi al-Ma’tsur yang bersumber dari Rasulullah, para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in itu diturunkan oleh generasi berikutnya melalui periwayatan. Hal tersebut terus berlangsung sampai periode awal pengkodifikasian hadis, yang pada saat itu, tafsir merupakan salah satu bahagian kitab hadis.[15]
Pada periode ini dilakukan pencatatan dan pembukuan segala hal yang diriwayatkan dari Rasulullah dan para sahabat. Tepatnya, pembukuan telah dimulai pada masa sahabat tetapi penyusunannya secara sistematis sebagai ilmu yang mandiri dan terpisah dari hadis secara sempurna baru terjadi pada abad ketiga Hiriyah.
Pada masa ini tafsir yang hanya memuat tafsir al-Quran, surat demi surat dan ayat demi ayat, dari awal al-Quran sampai akhir, memang belum dipisahkan secara khusus dari bab-bab hadis. Bersamaan dengan hadis, dikumpulkan pula riwayat-riwayat tafsir yang dinisbatkan kepada Rasulullah, sahabat atau tabi’in dan terkadang disertai pentarjihan terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan melakukan istinbath sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan i’rabnya jika diperlukan, sebagaimana dilakukan Ibnu Jarir Ath-Tahbari.
Pada awalnya, pembukuan terhadap tafsir bil ma’tsur dilakukan tanpa menyebutkan sanadnya atau hanya meringkasnya saja dan dalam penukilannya pun tanpa membedakan hadis sahih dengan yang tidak sahih sehingga banyak ditemukan hadis-hadis maudhu’ dan cerita isra’iliyyat palsu, sehingga persoalannya menjadi kabur dan riwayat-riwayat yang shahih bercampur dengan  yang tidak sahih.[16]
Dengan perkembangan ilmu tafsir secara pesat dan pembukuannya semakin sempurna, perbedaan pun terus meningkat, sehingga mengakibatkan disiplin ilmu tafsir tercemar polusi yang tidak sehat. Sehingga para mufassir dalam menafsirkan al-Quran berpegang pada pemahaman pribadi dan memenuhi penafsirannya hanya dengan ilmu yang paling dikuasainya, tanpa memperhatikan ilmu-ilmu yang lainnya. Demikianlah kitab-kitab tafsir menjadi kitab-kitab yang didalamnya bercampur aduk antara yang baik dengan yang buruk. Masing-masing golongan menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan penafsiran yang tidak dapat diterima oleh ayat itu sendiri demi mendukung kepentingan mazhabnya atau menolak pihak lawan, sehingga tafsir kehilangan fungsi utamanya sebagai petunjuk dan pengetahuan terhadap agama.

C.                Sumber –Sumber Tafsir bi al-Ma’tsur dan Urutan Penggunaannya
1.      Penafsiran Ayat al-Quran dengan Ayat Lain
Al-Quran itu ibarat jalinan kalung, dimana ayat yang satu dengan ayat yang lainnya saling berkaitan dan saling menjelaskan. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran itu sendiri, ada yang dalam bentuk menafsirkan bagian atau tepatnya kosa kata tertentu, ayat al-Quran dengan bagian ayat al-Quran yang lain dalam ayat dan surat yang sama, ada yang dalam bentuk menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam surat yang sama, dan ada pula dalam bentuk menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam surat yang berbeda.[17]
Dengan kata lain, cara yang dipakai dalam metode ini adalah dengan membawa sesuatu ayat yang mujmal (global) kepada sesuatu yang mubayyan untuk mendapatkan penjelasannya. Rasulullah adalah orang yang mengajarkan dan mencontohkan penggunaan metode penafsiran demikian. Suatu saat sahabat membacakan firman Allah SWT:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ  
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al-An’am: 82)
Mendengar ayat tersebut para sahabat merasa gelisah dan khwatir terhadap diri mereka sendiri. Secara lahiriyah ayat ini menunjukkan bahwa hanya orang yang tidak bercampur iman dengan kezalimanlah yang memperoleh keamanan dan petunjuk.[18] Oleh karenanya, mereka bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, siapakah diantara kita orang yang menzalimi dirinya sendiri? Rsulullah menjawab, “tidaklah seperti yang kalian sangka, kezaliman yang dimaksud adalah kemusyrikan. Tidaklah engkau mebeca ucapan hamba yang shaleh.”
(….. žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ  
Artinya: “…..Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Contoh lain ayat-ayat yang bersifat mutlaq dan ditafsirkan dengan ayat lain yang muqayyadah, adalah:
* (#þqããÍ$yur 4n<Î) ;otÏÿøótB `ÏiB öNà6În/§ >p¨Yy_ur $ygàÊótã ßNºuq»yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur ôN£Ïãé& tûüÉ)­GßJù=Ï9 ÇÊÌÌÈ  
Artinya: “dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran: 133)
Orang-orang yang bertaqwa seperti yang disebutkan dalam ayat di atas dijelaskan pada ayat berikutnya, bahwa orang-orang yang bertaqwa adalah:
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムÎû Ïä!#§Žœ£9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏJÏà»x6ø9$#ur xáøtóø9$# tûüÏù$yèø9$#ur Ç`tã Ĩ$¨Y9$# 3 ª!$#ur =Ïtä šúüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÌÍÈ  
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Ali Imran: 134)

2.      Penafsiran Ayat al-Quran dengan Hadis Nabi SAW
Rasulullah mempunyai beberapa peran dalam hal yang menyangkut dengan al-Quran, diantaranya adalah:
a.       Menjelaskan bagian yang umum dan mengkhususkan yang umum
b.      Menjelaskan arti dan kaitan kata tertentu dalam al-Quran
c.       Memberikan ketentuan tambahan terhadap beberapa peraturan yang telah ada dalam al-Quran, seperti zakat fitrah
d.      Menjelaskan penghapusan ayat
e.       Menjelaskan untuk menegaskan hukum-hukum yang ada dalam al-Quran
f.       Menetapkan tentang hukum sendiri[19]
Jadi dapat disimpulkan bahwa hadis Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Quran.
Contoh ketika seorang sahabat tidak paham apa yang dimaksud “kalimat taqwa” dalam:[20]
øŒÎ) Ÿ@yèy_ šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. Îû ãNÎgÎ/qè=è% sp¨ŠÏJptø:$# sp¨ŠÏHxq Ïp¨ŠÎ=Îg»yfø9$# tAtRr'sù ª!$# ¼çmtGt^Å6y 4n?tã ¾Ï&Î!qßu n?tãur šúüÏZÏB÷sßJø9$# óOßgtBtø9r&ur spyJÎ=Ÿ2 3uqø)­G9$# (#þqçR%x.ur ¨,ymr& $pkÍ5 $ygn=÷dr&ur 4 šc%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJÎ=tã ÇËÏÈ  
Artinya: “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Fath 26)
Rasulullah menjelaskan bahwa “kalimat taqwa” adalah kalimat “laailaaha illa Allah”. (HR. at-Tirmidzi)
Contoh lainnya adalah Rasulullah menafsirkan kata المغضوب dan الضالين masing-masing dengan orang Yahudi dan orang Nasrani,[21] yang tertera dlam firman Allah:
$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ   xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ  
Atinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik. Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.[22]
Begitu luasnya jangkauan penafsiran hadis atas ayat al-Quran, maka Amin al-Khuli berpendapat bahwa perkembangan tafsir ayat, erat hubungannya dengan perkembangan pembukaan hadis. Bahkan, dalam pembukuan hadis juga menyertakan bab-bab tafsir.[23]
Hal yang perlu diperhatikan adalah hadis yang merupakan sumber penafsiran al-Quran tetap perlu diteliti otensitas hadis itu sendiri, untuk mengetahui hadis tersebut berasal dari Rasulullah atau bukan.
3.      Penafsiran Ayat al-Quran dengan Pendapat Para Sahabat
Sahabat adalah orang-orang beriman yang diridhai Allah, yang diberi kesempatan oleh Allah untuk bertemu dengan Rasulullah pada masa hidupnya. Mereka ikut menyaksikan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat dan keterkaitannya dengan turunnya ayat yang lain. Mereka juga mempunyai kedalaman pengetahuan dari segi bahasa, kejernihan pemahaman, kebenaran fitrah, keyakinan kuat, dan hal-hal yang dianggap mendukung dalam bidang penafsiran.
Para ulama berpendapat bahwa setelah Rasulullah wafat, orang yang paling memahami al-Quran adalah generasi sahabat. Sebagaimana hadis Rasulullah menyatakan bahwa:
Dari Imran bin Hashin ra, ia berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Generasi terbaik dari umatku adalah periode aku, kemudian generasi yang mengiringinya (sahabat), kemudian generasi yang berikutnya lagi (tabi’in). Imran berkata, “Aku tidak tahu persis apakah Nabi menyebutkannya dua kali sesudah periodenya atau tiga kali”. Tapi kemudian yang psti sesudah itu beliau katakan bahwa sesudahnya akan tampil suatu kaum yang siap menjadi saksi tanpa diminta kesaksian, mereka berkhianat dan tidak bisa dipercaya; mereka juga berjanji tetapi tidak memenuhi dan akhirnya tampak di tengah-tengah mereka orang-orang yang gemuk (berperut buncit).” (HR. al-Bukhari)
Contoh penafsirn sahabat adalah ketika Ibnu Abbas menafsirkan surat al-Anfal ayat 41 yang berbunyi:
* (#þqßJn=÷æ$#ur $yJ¯Rr& NçGôJÏYxî `ÏiB &äóÓx« ¨br'sù ¬! ¼çm|¡çHè~ ÉAqß§=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ÇÆö/$#ur È@Î6¡¡9$# bÎ) óOçGYä. NçGYtB#uä «!$$Î/ !$tBur $uZø9tRr& 4n?tã $tRÏö6tã tPöqtƒ Èb$s%öàÿø9$# tPöqtƒ s)tGø9$# Èb$yèôJyfø9$# 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÍÊÈ  
Artinya: “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Anfal: 41)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa seperlima ghanimah (rampasan perang) dibagi untuk Allah dan Rasul-Nya, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil. Sedang empat perlima ghanimah dibagi kepada yang berhak menerimanya. Setelah Rasulullah wafat, gugurlah hak Rasulullah dan kerabatnya. Hal ini bersandarkan kepada tradisi (hasil ijtihad) para sahabat yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Afffan dan Ali bin Abi Thalib di masa kekhalifahannya. Mereka membagi seperlima ghanimah itu kepada tiga golongan saja, yaitu anak yatim yang bukan keluarga Bani Muthalib, orang miskin yang bukan dari keluarga Bani Muthalib dan kepada Ibnu Sabil (orang yang melakukan peralanan) yang lemah dan membutuhkan pertolongan.[24]
Jika para sahabat telah ijma’ dalam suatu permasalahan, maka hal ini menunjukkan bahwa perkara itu memiliki dasar dari sunnah, walaupun mereka tidak menyatakan dengan jelas. Menurut Yusuf Qardhawi, jika masih terdapat perselisihan di antara mereka, maka kita bebas memilih salah satu pendapat yang kita anggap paling mendekati kebenaran.
4.      Penafsiran Ayat al-Quran dengan Pendapat Para Tabi’in
Dengan berakhirnya masa sahabat, tradisi penafsiran dilanjutkan oleh generasi para tabi’in dengan pola yang masih relatif sama. Namun, ada perbedaan antara kedua era pernafsiran tersebut. Di era sahabat belum muncul aliran-aliran tafsir secara tajam, sementara pada era tabi’in sudah mulai muncul aliran-aliran tafsir berdasarkan kawasan, ini dikarenakan mereka menyebar di berbagai daerah.
Adanya perbedaan di kalangan ulama tentang kedudukan tabi’in dalam menafsirkan al-Quran, imam az-Zarqani mengkategorikan tafsir tersebut dalam dua macam. Pertama, tafsir yang dalil-dalilnya memenuhi persyaratan shahih dan diterima. Hal demikian tidak dapat ditolak oleh siapapun, tidak dibenarkan untuk mengabaikan dan melupakan. Kedua, tafsir yang dalil atau sumbernya tidak shahih, penafsirn ini jelas harus ditolak.[25]
Sebagai contoh adalah penafsiran tabi’in terhadap ayat berikut ini:
#¤)n=tGsù ãPyŠ#uä `ÏB ¾ÏmÎn/§ ;M»yJÎ=x. z>$tGsù Ïmøn=tã 4 ¼çm¯RÎ) uqèd Ü>#§q­G9$# ãLìÏm§9$# ÇÌÐÈ  
Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat[40] dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah: 37)
Para tabi’in seperti mujahid, Sa’id bin Jabir, Abu al-‘Aliyyah dan ar-Rabi’ bi Anas menafsirkan tentang beberap “kalimat” (ajaran-ajaran) dari Tuhan yang diterima oleh Nabi Adam untuk bertaubat, menurut mereka ayat tersebut ditafsirkan oleh ayat berikut:
Ÿw$s% $uZ­/u !$oY÷Hs>sß $uZ|¡àÿRr& bÎ)ur óO©9 öÏÿøós? $uZs9 $oYôJymös?ur ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»yø9$# ÇËÌÈ  
Artinya: “Keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Al-‘Araaf: 23)
Perkembangan tafsir ini dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode lisan dan periode periwayatan. Periode lisan adalah dimana ketika itu metode penafsiran dari Rasulullah dan para sahabat disebarluskan secara periwayatan. Periode tulisan adalah ketika riwayat-riwayat yang sebelumnya tersebar secara lisan itu mulai dibukukan.

D.                Profil Tafsir al-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir Sebagai Representasi dari Tafsir bi al-Ma’tsur
1.      Imam al-Thabari
Abu Jakfar Muhammad bin Jarir al-Thabari dilahirkan di negeri Amil pada tahun 225 H. Beliau mulanya adalah seorang sastrawan dalam bahasa Arab dan juga merupakan seorang yang sangat ahli dalam bidang fiqh. Beliau adalah pendiri sebuah mazhab, tetapi sangat disayangkan tidak ada yang mengumpulkan pendapat beliau untuk menjadikan sebuah mazhab. Beliau juga merupakan seorang pakar sejarah yang mempunyai karangan kitab sejarah yang sangat popular yang merangkap juga sebagai seorang pakar hadis.[26]
Ibnu Jarir al-Thabari adalah dipandang sebagai seorang tokoh terkemuka yang menguasai benar berbagai disiplin ilmu dan telah meninggalkan warisan keislaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan baik di setiap masa dan generasi. Ia mendapat popularitas luas melalui dua buah karyanya, Tarikhul Umam wal Muluk tentang sejarah dan Jami’ul Bayan fi Tafsiril Quran tentang tafsir. Kedua buku tersebut termasuk di antara sekian banyak rujukan ilmiah penting.
Tafsir al-Thabari adalah kitab tafsir paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap, terdiri atas tiga puluh jilid serta bernilai tinggi yang sangat diperlukan oleh setiap orang yang mempelajari tafsir. Sementara tafsir-tafsir yang mungkin pernah ditulis orang sebelumnya tidak ada yang sampai kepada kita kecuali hanya sedikit sekali. Itupun terselip di celah-celah kitab al-Thabari tersebut.
Adapun metode yang diikuti al-Thabari dalam tafsirnya ialah, apabila hendak menafsirkan suatu ayat al-Quran ia berkata: “pendapat mengenai takwil (tafsir) firman Allah ini adalah begini begitu”. Kemudian ia menafsirkan ayat tersebut dengan mendasarkan pada pendapat para sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan dengan sanad yang lengkap, yakni tafsir bil ma’tsur berasal dari mereka. Ia memaparkan segala riwayat yang berkenaan dengan ayat, namun tidak hanya sekedar mengemukakannya semata melainkan ia juga mengkofrontir pendapat-pendapat (riwayat-riwayat) tersebut satu dengan yang lainnya kemudian mentarjihkan slah satunya. Di samping itu ia juga menerangkan aspek ‘irab jika hal ini di anggap perlu dan mengistimbatkan sejumlah hukum.
Al-Thabari juga berbicara masalah perkara penting dalam al-Quran yang berhubungan dengan penafsiran beliau. Misalnya beliau berbicara tentang kerapian makna-makna ayat-ayat al-Quran yang tersusun dan makna-makna logika terhadap hamba yang diturunkan padanya al-Quran. Kemudian beliau menjelaskan huruf-huruf al-Quran yang sama penuturannya dengan bahasa-bahasa lain dan menjelaskan huruf-huruf yang berbeda dengan bahasa lain. Beliau membicarakan masalah bahasa al-Quran yang mana diturunkan dengan bahasa-bahasa Arab yang bermacam-macam.
Tafsir beliau tentang firman Allah SWT, “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dn orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 21). Beliau berkata Allah SWT menyuruh kedua golongan untuk mengamalkan demikian, yang mana satu golongan tersebut telah Allah SWT gambarkan dalam ayat: “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak jug akan beriman”. (QS. Al-Baqarah: 6). Allah SWT menggambarkan demikian karena tabiat hati pendengaran mereka yang tidak mau patuh terhadap seruan itu.[27]
Diantara keistimewaan tafsir al-Thabari adalah dalam mengetengahkan penafsiran para sahabat dan kaum tabi’in selalu disertai dengan isnad (sumber-sumber riwayatnya) dan diperbandingkan untuk memperoleh penafsiran yang paling kuat dan tepat. Selain itu juga terdapat kesimpulan-kesimpulan tentang hukum dan diterangkan juga bentuk-bentuk ‘irab (kedudukan kata-kata di dalam rangkaian kalimat) yang menambah kejelasan terhadap makna. Ini dilandasi oleh kehati-hatian beliau dalam mengarang, kerajinan beliau dalam mempersiapkan dan kegembiraan ketika sudah selesai.[28]
Al-Thabari meninggal pada dua hari akhir bulan syawal tahun 300H. Beliau dikuburkan dalam rumah dan tidak di ubah sampai sekarang. Dalam hidupnya beliau orang yang berambut hitam dan berjenggot panjang, kulitnya coklat seperti sao matang, badan kurus dan berdiri tegap, terkumpul padanya kebaikan yang tak terhitung. Dishalatkan di atas kuburnya beberapa bulan lamanya, siang dan malam. Banyak sekali orang-orang meratapi kematiannya, dari kalangan masyarakat biasa, para penyair dan para ulama.
Karyanya
Al-Thabari menulis kitab cukup banyak, antara lain:
-          Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran
-          Tarikh al-Umam wa al-Muluk wa Akhbaruhum
-          Al-Adab al-Hamidah wa Akhlaq an-Nafisah
-          Tarikh al-Rijal
-          Ikhtilaf al-Fuqaha’
-          Tahdzib al-Atsar
-          Kitab Basith fi al-Fiqh
-          Al-Jami’ fi al-Qiraat
-          Kitab Tabshir fi Ushul[29]
2.      Ibnu Katsir
Nama lengkap Ibnu Katsir adalah al-Imam al-Jalil al-Hafiz Imaduddin Abi al-Fida’ Ismail Ibnu Amr Ibnu Katsir al-Syafi’i.[30] Ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir kerena disandarkan kepada kakeknya (Katsir) sebagai orang yang alim. Ia dilahirkan di sebuah desa bernama Syirqy di daerah Bashara ibu kota Damaskus pada tahun 701H, bertetapatan dengan tahun 1313M. Ketika ia berumur dua tahun (tepatnya pada tahun 703H), bapaknya berpulang ke rahmatullah. Kemudia ia mendapat asuhan dari saudaranya yang membantu segala kebutuhan hidupnya dan mengantarnya ke tempat pengajian ilmu pengetahuan.[31]
Sejak kecil ia sudah menuntut ilmu pengetahuandi desanya. Kemudian pada usia 7 tahun ia pergi ke Damaskus bersma saudaranya untuk melanjutkan studi. Berkat kecerdasan dan kedhabitan yang dimilikinya, ia mampu menguasai bahasa Arab dan berbagai ilmu pengetahuan dengan cepat. Sehingga akhirnya ia menjadi seorang guru dan pengarang dalam berbagai disiplin ilmu[32]
Kepandaian dan keluasan ilmu pengetahuan Ibnu Katsir telah diakui oleh beberapa ulama, antara lain:
·         Ibnu Hajar mengatakan bahwa Ibnu Ktasir merupakan orang yang menekuni, mempelajari dan meneliti hadis, baik sanad maupun matannya. Ia juga mengumpulkan tafsir, nayak menulis hukum-hukum yang belum disempurnakan dan mengumpulkan searah-sejarah yang kemudian disusun dalam sebuah buku yang diberi nama al-Hidayah wa al-Nihayah dan Tabaqat al-Syafi’iyyah.
·         Al-Zahabi dalam Kitab Mu’jam al-Mukhtash menyatakan bahwa Ibnu Katsir adalah orang mufti (imam fatwa), ahli hadis, ahli fiqh, orator yang hebat dan mufassir serta banyak menulis buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu.
·         Ibnu Habibi berpendapat bahwa Ibnu Katsir merupakan pemimpin ahli takwil, mendengarkan, mengumpulkan dan mengarang. Ia juga banyak mengaluarkan fatwa untuk memberikan solusi terhadap problem yang dihadapi masyarakat sekitarnya. Sebgai mufti, ia juga ahli dalam bidang hukum, hadis dan tafsir.[33]
Dari urain di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Ibnu Katsir merupakan orang yang ahli dalam segala bidang, baik tafsir, hadis, hukum maupun sejarah. Keahliannya tersebut menjadi landasan baginya untuk berfatwa dan menulis beberapa buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Pada bulan Sya’ban tahun 774H bertepatan dengan 1386M Ibnu Katsir meninggal dunia dlam usia 73 tahun. Ia di makamkan di tempat pemakaman orang-orang sufi di samping gurunya, Ibnu Taimiyah.[34]
Meskipun Ibnu Katsir bermazhab Syafi’i, namun ia tidak terlalu fanatik dengan mazhab yang dianutnya. Dalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum, ia juga mengemukakan pendapat-pendapat ulama selain mazhabnya. Bahkan ia juga tidak mengklaim bahwa pendapat mazhabnyalah yang paling benar. Ia bersikap objektif dengan mengemukakan argumen yang diajukan oleh masing-masing ulama.[35]
Dalam menafsirkan ayat al-Quran, Ibnu Katsir menggunakan metode tersendiri. Sebagai mufassir ia sangat hati-hati dan tidak terlalu liberal. Ia berpegang pada ayat-ayat al-Quran, hadis, atsar sahabat dan pendpat ulama salaf. Kitab tafsirnya penuh dengan beragam nukilan yang ia kutip untuk menjelaskan maksud suatu ayat. Nukilan tersebut diungkapkan secara lengkap dengan sanadnya, sehingga bisa diukur validitas nukilan tersebut.
Selain itu, Ibnu Katsir juga menggunakan cerita-cerita israilliyat untuk mendukung atau menolak suatu penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran. Namun menurutnya, kita harus selektif dalam menerima atau menolak cerita israilliyat, karena sebagian riwayat israilliyat itu tidak shahih atau munkar. Selain itu, ia juga menyebutkan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah fiqh, bahkan kadang-kadang ia menolak pendapat mereka dengan argument yang menurutnya lebih tepat.[36]
Metode tafsir yang valid dan terbaik menurut Ibnu Katsir adalah metode penafsiran al-Quran dengan al-Quran. Karena suatu kalimat dengan ayat yang masih global di suatu tempat, telah dijelaskan di tempat lain. Jika penafsirannya tidak diperoleh di dalam al-Quran itu sendiri, maka hendaklah di cari tafsirnya di dalam Hadis yang berfungsi sebagai syarh (penjelas) al-Quran. Kemudian baru mempergunakan pendapat para sahabat yang umumnya mengetahui secara langsung proses turunnya al-Quran dan lebih memahami maknanya.
Penafsiran al-Quran yang dilakukan oleh Ibnu Katsir memiliki karakteristik tertentu. Hal ini terlihat dari penafsirannya sebagaimana dalam kitab tafsirnya yang bernama Tafsir al-Quran al-‘Azhim. Tafsir Ibnu Katsir ini termasuk tafsir bil ma’tsur yang terkenal.[37]
Karyanya:
-          Al-Bidayah wa al-Nihayah, dalam bidang sejarah
-          Al-Kawakib ad-Darari, bidang sejarah, namun ringkasannya
-          Tafsir al-Quran
-          Al-Ijtihad wa Thalab al-Jihad
-          Jami’ al-Masanid
-          As-Sunnah al-Hadi li Aqwami Sunan
-          Al-Wadih an-Nafis fi Manaqib al-Imam Muhammad bin Idris[38]


BAB III
PENUTUP


A.                Keistimewaan Tafsir bi al-Ma’tsur
Diantara keistimewaan-keistimewaan tafsir bil ma’tsur adalah sebagai berikut:
1.      Menekankan pentingnnya bahasa dalam memahami al-Quran.
2.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
3.      Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan.[39]

B.                 Kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur
Sedangkan yang menjadi kelemahan-kelemahan dari tafsir bil ma’tsur adalah:
1.      Terjadi pemalsuan (wadh’) dalam tafsir. Dicatat oleh Adz-Dzahabi bahwa pemlasuan itu terjadi pada tahun-tahun ketika terjadi perpecahan di kalangan umat Islam yang menimbulkan berbagai aliran seperti Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah. Diantara sebab pemalsuan itu, menurutnya, adalah fanatisme mazhab, politik, dan usaha-usaha umat Islam.
2.      Masuknya unsure israilliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur Yahudi dan Nashrani yang masuk dalam penafsiran al-Quran. Persoalan israilliyat sebenarnya sudah muncul semenjak Nabi Muhammad SAW masih hidup. Hal itu berdasarkan Hadis Nabi yang berisi perintah Nabi untuk tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan berita yang datang dari Ahli Kitab. Hadis ini mengindikasikan bahwa pada masa Nabi, sebagian sahabat menerima riwayat israilliyat. Namun pada saat itu israilliyat belum menjadi persoalan yang parah serta masih berada dalam batas-batas kewajaran. Israilliyat menjadi persoalan yang serius ketika berada pada masa tabi’in karena telah bercampur antara yang shahih dengan yang bathil, dan juga banyak yang dapat merusak aqidah umat. Dalam sejarah, israilliyat semacam itu masuk dan tersebar melalui tafsir bi al-Ma’tsur.
3.      Penghilangan sanad. Eksistensi sanad yang menadi salah satu kualifikasi keakuratan sebuah riwayat, ternyata pada sebagian tafsir bi al-Ma’tsur tidak ditemukan lagi. Akibatnya, penilaian terhadap riwayat itu sulit dilakukan sehingga sulit pula untuk membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak. Tafsir Muqatil bin Sulaiman barangkali cukup representatif bagi contoh kitab tafsir yang tidak disertai dengan sanad.
4.      Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Quran menjadi kabur.
5.      Sering konteks turunnya ayat (asbabun nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian (nasikh mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.[40]

Dengan mempertimbangkan segala keistimewaan dan kelemahan yang dimiliki tafsir bil ma’tsur, dapatlah dikatakan bahwa corak itu dapat dipandang lebih baik daripada corak lainnya jika kelemahan-kelemahan itu dapat dihindari. Hal lain yang perlu diperhatikan dengan baik berkenaan dengan perkembangan tafsir bil ma’tsur pada situasi kekinian adalah pemberian porsi yang memadai bagi penggunaan takwil, suatu perangkat penafsiran al-Quran yang dapat membongkar esensi al-Quran yang universal sehingga diharapkan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam sekarang.


DAFTAR PUSTAKA



Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Quran, Bandung; Pustaka Setia, 2004
H. Nurdin, Perkembangan Metodologi Penafsiran al-Quran, Banda Aceh; Pena, 2012
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Juzu’ I, terjemahan, Semarang; Toha Putra
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Jakarta; Pustaka Firdaus, 2001
Muhammad Amin Suma, Studi-studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an 2, Jakarta; Pustaka Firdaus, 2001
Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Quran, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran dan Hadis, Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2009
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Quran, Jakarta; Bulan Bintang, 1972
Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassiruu, Juzu’ I, Kairo: Darul Kutub al-Haditsah, 1961
Muhammad Karman Supiana, Ulumul Quran dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung; Pustaka Islamika, 2002
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung; 2007, cet II
M. Quraish Shihab, Telusur Tafsir al-Misbah, jilid 1, Jakarta; Lentera Hati, 2002
Nur Faizin Marwan, Kaian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir, Yogyakarta; Menara Kudus, 2002
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Bandung; Pustaka Setia, 2005
Rosihon Anwar, Ulum al-Quran, Bandung; Pustaka Setia, 2012
Syaikh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 2006




[1] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung; 2007, cet II), hlm 113
[2] Muhmmad Amin Suma, Studi-studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an 2, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 15
[3] Ibid, hlm. 47
[4] Nur Faizin Marwan, Kaian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir, (Yogyakarta; Menara Kudus, 2002), hlm. 81
[5] Syaikh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, (Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm. 434
[6] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran dan Hadis, (Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 181-182
[7] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung; Mizan, 2007), hlm. 105-106
[8] Muhammad Karman Supiana, Ulumul Quran dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung; Pustaka Islamika, 2002), hlm. 305
[9] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung; Pustaka Setia, 2005), hlm. 144
[10] Ibid, hlm 145
[11] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Quran, (Bandung; Pustaka Setia, 2004), hlm. 91
[12] Ibid, hlm. 96
[13] Ibid, hlm. 61
[14] Syaikh Manna’ al-Qaththan, ibid, hlm. 424
[15] Rosihan Anwar, Ibid, hlm. 165
[16] Syaikh Manna’ al-Qaththan, ibid, hlm. 429
[17] Muhmmad Amin Suma, Ibid, hlm. 49
[18] Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Quran, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003), hlm. 149
[19] Muhammad Chirzin, ibid, hlm. 153
[20] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 42
[21] Muhammad Amin Suma, ibid, hlm.57
[22] Quraish Shihab, Telusur Tafsir al-Misbah, jilid 1, (Jakarta; Lentera Hati, 2002), hlm. 3
[23] Abdul Mustaqim, ibid, hlm 43
[24] Ibid, hlm 46-47
[25] Muhammad Chirzin, ibid, hlm. 155
[26] Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 176
[27] Ibid, hlm 74
[28] Ibid, hlm 70
[29] Syaikh Manna’ al-Qaththan, ibid, hlm. 477
[30] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Juzu’ I, terjemahan, (Semarang; Toha Putra), hal 2
[31] H. Nurdin, Perkembangan Metodologi Penafsiran al-Quran, (Banda Aceh; Pena, 2012), hlm. 49
[32] Mani’ Abdul Halim Mahmud, ibid, hlm. 226
[33] Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassiruu, Juzu’ I, (Kairo: Darul Kutub al-Haditsah, 1961), hlm. 243
[34] Ibid, hlm. 242
[35] H. Nurdin, ibid, hlm. 52
[36] Ibid, hlm. 55
[37] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Quran, (Jakarta; Bulan Bintang, 1972), hlm. 206
[38] Syaikh Manna’ al-Qaththan, ibid, hlm. 478
[39] Rosihon Anwar, Ulum al-Quran, (Bandung; Pustaka Setia, 2012), hlm. 217
[40] Ibid, hlm. 217-219

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS